Pendahuluan
Secara
garis besar terdapat tiga jenis output atau produk sistem pemerintahan, yaitu
layanan publik, kebijakan publik dan informasi publik. Ketiga produk tersebut
diproses melalui sistem birokrasi pemerintahan, khusunya birokrasi pemerintahan
daerah.
Terdapat
berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik sebagai hasil
birokrasi, perubahan struktur birokrasi pembenahan budaya birokrasi dan
penyederhanaan tata laksana birokrasi selama beberapa tahun pasca reformasi
pemerintahan dalam negeri, perubahan struktur birokrasi pemerintahan daerah
telah berulang-ulang dilaksanakan, namun pembenahan perilaku organisasi kurang
mendapat perhatian dan akibatnya kita sama-sama ketahui bahwa mutu pelayanan
publik belum banyak beranjak dari posisi sebelumnya. Itulah sebabnya maka dalam
penulisan ini fokus perhatian diarahkan pada pembinaan perilaku organisasi
dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan publik apad organisasi pemerintah
daerah.
Masalah
yang menjadi titik tolak penulisan adalah bagaimana upaya pembinaan perilaku
organisasi yang harus dilakukan agar memberi dampak yang signifikan terhadap
mutu pelayanan publik.
Pembinaan
Perilaku Organisasi
Pengertian
pembinaan perilaku organisasi
Istilah
pembinaan perilaku organisasi (managing organizational behaviour) pada dasarnya
lebih sering dipergunakan dalam praktek pembinaan sumber daya manusia dalam
organisasi untuk menggambarkan adanya upaya perubahan perilaku organisasi
menuju kondisi yang lebih baik dan lebih positif, yang bertujuan agar perilaku
organisasi mendukung tercapainya kinerja pelayanan yang lebih baik secara terus
menerus. Dalam tatanan konsep teoritis, istilah yang sering dipergunakan adalah
shaping behaviour (Robbins, 2003:59) dan behaviour modification (Dessler,
1986:336).
Istilah
pembinaan perilaku organisasi dipergunakan sebagai padanan yang lebih tepat
daripada istilah pembentukan perilaku organisasi atau shaping behaviour yang
dipergunakan oleh Robbins (2003:39), di mana Robbins mengemukakan bahwa shaping
behaviour adalah proses memperkuat secara sistemtis setiap tindakan yang
menggerakkan seorang individu lebih mendekati respon yang diinginkan.
Di
samping istilah shaping behaviour yang dipergunakan oleh Robbins (2003:59),
Dessler (1986:336) menggunakan istilah behaviour modifications (a term that is
often used synonymously with operant conditioning) involves changing
(modifiying) behaviour throught the use of reward or punishment.
Memperhatikan
pengertian yang terkandung dalam behaviour modification yang dikemukakan oleh
Dessler (1986:336) ternyata di dalamnya terdapat faktor perubahan perilaku ke
arah perilaku organisasi yang dinginkan. Cara atau metode yang digunakan untuk
mewujudkan perubahan perilaku organisasi, dan memiliki substansi yang sama
dengan shaping behavior menurut Robbins (2003:59), karena sama-sama menunjuk
kepada perubahan perilaku organisasi yang diinginkan ke arah perilaku yang
lebih positif.
Setelah
memahami beberapa faktor yang terkandung dalam pengertian shaping behaviour dan
behaviour modification, maka dalam penulisan ini pembinaan perilaku organisasi
adalah suatu proses yang terencana untuk mewujudkan perilaku organisasi yang
positif dengan berdasarkan formalisasi dalam struktur organisasi dan berpedoman
pada norma-norma organisasi yang berlaku.
Proses
pembinaan perilaku organisasi.
Sebagaimana
pengertian yang dikemukakan oleh Robbins (2003:59) bahwa terdapat proses
sistematis dalam pembinaan perilaku organisasi, maka proses sistematis yang
dimaksud terjadi dalam tahapan-tahapan yang berurutan, mulai dari penyusunan
dan pembentukan kelompok organisasi^dan struktur organisasi, dimana tiap
individu membawa serta perilaku masing-masing sampai dengan tahap aplikasi
norma dan motivasi dalam pembinaan perilaku organisasi.
Donovan
(1994:48-49) mengatakan bahwa proses pembinaan perilaku organisasi dilakukan
secara bertahap, dan searah dengan model pengembangan kelompok yang dikenalkan
Tuckman, yang mengatakan bahwa terdapat lima tahap dalam pembentukan kelompok
yang berkaitan dengan perilaku organisasi, yakni:
·
Stage 1 Forming
·
Stage 2 Storming
·
Stage 3 Norming
·
Stage 4 Performing
·
Stage 5 Ceasing
Tahap
forming merupakan awal dalam pengembangan kelompok, dan pada tahap awal
tersebut, tiap-tiap individu membawa perilaku masing-masing. Pada organisasi
yang mudah terbentuk, seperti organisasi Pemerintah Daerah, terhadap forming
terjadi dengan sendirinya, mengikuti kelompok yang sudah mapan terbentuk.
Pada
tahap selanjutnya, storming, mulai dibentuk pola hubungan antara individu dan
antara kelompok dalam satu organisasi. Pada organisasi yang sudah mapan. Tahap
storming sebagaimana juga pada tahap forming, tidak lagi menjadi tahap yang
secara khusus diperlukan Tahap ke tiga, norming, atau pembentukan norma dan
standar dalam perilaku, yang mana pada tahap ini terjadi pembentukan norma,
perilaku kelompok, kebersamaan dan keterpaduan. Pada tahap keempat, performing, telah terbentuk satu kelompok
yang telah memiliki standar norma yang kuat tingkat informal yang kuat serta
saling mendukung satu dengan lainnya.
Melihat
pentahapan pengembangan kelompok dari Tuckman tersebut, ternyata bahwa dalam
pembinaan perilaku organisasi, tahap yang paling kritis dan sulit dalam
pelaksanaannya adalah tahap norming dan tahap performing, karena pada
tahap-tahap inilah terjadi proses intensif dengan mempergunakan metode
pembinaan perilaku pegawai, yakni melalui penguatan positif (reward) penguatan
negatif (punishment), pelatihan dan pembelajaran.
Dengan
mengacu pada pendapat Nigro and Nigro mengenai organizational development
(1977:150) maka pembinaan perilaku pegawai merupakan bagian dari proses
pengembangan organisasi, sehingga dengan demikian, kegiatan pembinaan perilaku
difokuskan pada beberapa bentuk yang searah dengan dan menunjang pengembangan
organisasi, yakni:
1.
Pembinaan perilaku pegawai saat
berhubungan dengan lingkungan, agar memberikan pelayanan publik yang murah,
mudah, lancar, efisien dan adil, dan sesuai standar dan prosedur yang telah
ditetapkan.
2.
Pembinaan perilaku pegawai saat
berhubungan dengan sesama pegawai dan membentuk satu kesatuan atau kelompok
dalam organisasi.
3.
Pembinaan perilaku pegawai dalam
memahami, menyikapi, dan melaksanakan tugas pokok organisasi yang tercantum
dalam uraian tugas pokok, serta sesuai standar, prosedur dan mekanisme
organisasi.
4.
Pembinaan perilaku pegawai yang kondusif
pada saat pegawai berhubungan dengan organisasi dan melaksanakan tugas untuk
mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini diupayakan agar perilaku pegawai
searah dengan tugas pokok dan mendukung pencapaian tujuan organisasi secara
menyeluruh.
Kerangka
dasar untuk pembinaan prilaku organisasi
Formalisasi
dan standarisasi dalam struktur organisasi pemerintah daerah sebagai dasar
pembinaan perilaku organisasi
Struktur
organisasi merupakan salah satu faktor yang membentuk perilaku pegawai, di
samping faktor lingkungan organisasi. Robbins (2003) mengatakan bahwa perilaku
pegawai ditentukan oleh pengaturan struktur, posisi yang ditempati, peranan
yang dimainkan dalam hubungan organisasi. Posisi pegawai dalam struktur memberi
bentuk pada perilaku, begitu juga halnya dengan peranan yang teruraikan dalam
uraian tugas. Rivai (2003:303) menggambarkan bahwa karakteristik perilaku
pegawai dalam organisasi ditentukan oleh struktur, status hirarki dan peran
dalam organisasi. Pendapat lain dikemukakan oleh Wilson (1989:59-69) bahwa
dalam organisasi perlu adanya defining task, secara jelas dan terurai dalam
struktur organisasi, untuk membentuk perilaku pegawai yang sesuai dengan tujuan
organisasi dan mendukung pencapaian tujuan organisasi.
Norma
organisasi sebagai pegangan dan acuan dalam pembinaan perilaku organisasi
Pemerintah Daerah.
Norma
dalam organisasi merupakan nilai yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang
hidup dan dipergunakan dalam organisasi, agar organisasi berjalan baik untuk
mencapai tujuan. Norma organisasi pada dasarnya berisi ketentuan yang boleh dan
tidak boleh dilakukan oleh anggota organisasi agar tidak terjadi konflik dalam
kehidupan organisasi.
Norma
organisasi bersumber dari nilai-nilai leluhur yang dianut dalam masyarakat.
Sebagai manusia ciptaan Tuhan, umat beragama, norma-norma agama tentang hal-hal
yang baik dan buruk menjadi dasar kehidupan dalam masyarakat. Di samping itu,
budaya yang hidup dan menjadi sumber norma dalam kehidupan organisasi.
Dalam
kehidupan organisasi Pemerintah Daerah, norma yang berlaku pada umumnya adalah
norma yang mengatur kehidupan disiplin pegawai, pemberian hukuman dan
penghargaan, peraturan pembinaan kepegawaian mulai dari rekruitmen, penempatan,
promosi dan pemberhentian pegawai mulai dari recruitment, penempatan promosi
dan pemberhentian pegawai.
Bagi
organisasi Pemerintah Daerah norma-norma yang tertulis menjadi dasar dalam
pembinaan perilaku organisasi dan menjadi pegangan dan acuan dalam pemberian
reward dan punishment.
Metode
pembinaan perilaku dan tujuan yang ingin dicapai
Dessler
(1986:337) mengemukakan adanya dua konsep penting dalam modifikasi perilaku
organisasi, yakni mengenai "the types of reinforcement and the schedule of
reinforcement". Mengenai the types of inforcement, baik Dessler, (1986)
maupun Robbins (2003) sama-sama mengemukakan adanya empat tipe atau bentuk
dalam modifikasi perilaku organisasi. Robbins (2003:59) mengemukakan adanya
empat cara untuk pembentukan perilaku, lewat penguatan positif, penguatan
negatif, pemunahan dan penghukuman. Sedangkan Dessler (1986:337) menyebut
positive reinforcement, negative reinforcement, extinction and punishment.
Berkaitan
dengan tujuan pembinaan perilaku, Dessler (1986:337) mengemukakan adanya (1)
undesired behaviour yakni perilaku yang harus dihindari, dan diberikan hukuman,
negative reinforcement, dan punishment, serta (2) desired behaviour atau
perilaku yang diinginkan untuk diwujudkan melalui pemberian reward, atau
positif reinforcement. Dessler (1986:336) mengatakan pula bahwa behaviour
modification dilakukan melalui proses reinforcement, through the use of rewards
or punishment. Dalam rangka mewujudkan desired behviorment.
Setelah
memperhatikan tipe dengan jenis kegiatan dalam pembinaan perilaku organisasi
yang dikemukakan oleh Dessler (1986), Robbins (2003), ternyata bahwa pembinaan
perilaku organisasi pada hakekatnya bertujuan mewujudkan perilaku organisasi
yang positif melalui reinforcement (penguatan) baik positive reinforcement,
serta reward and punishment,disertai dengan pemberian motivasi, penanaman
disiplin kerja, pembelajaran dalam kelompok, dan program pelatihan dan mentor
dalam organisas.
Beberapa
Bentuk Perilaku Birokrasi yang Negatif
Perilaku
yang terbentuk dengan positif, akan mencegah terjadinya berbagai bentuk
perilaku yang negatif dalam pemberian pelayanan. Gartson (1993:118) mengatakan
bahwa perilaku birokrat ada yang bersifat moral hazard, oleh sebab itu disebut
perilaku organisasi yang negatif, dalam bentuk-bentuk yang antara lain
principal agent theory, dimana disebutkan bahwa the agent has his/her
objectives, which need no correspond to those of the principal. Menurut
Gartson, (1993:118), principal dalam pemberian pelayanan publik adalah warga
masyarakat, yang memberikan kepercayaan kepada birokrasi untuk melakukan tugas
pelayanan, sedangkan agent adalah birokrasi yang bertugas memberikan pelayanan.
Perilaku
lain dari birokrasi yang kurang menguntungkan menurut (Gartson (1993:114)
adalah adanya biaya transaksi (transaction cost) yang sering muncul dalam
pembayaran atau cost dalam pemberian pelayanan publik di luar ketentuan yang
telah ditetapkan.
Di
samping agent and principal relation dan biaya transaksi, perilaku yang umum
dalam organisasi privat dan juga banyak dijumpai dalam organisasi publik adalah
gejala bounded rationality (Pfeffer 1992:135). Menurut Pfeffer, bounded
rationality adalah gejala terbatasnya pemahaman dari para agent yang berada
pada posisi borderline atau bagian dari struktur organisasi yang memberikan
pelayanan, terhadap keinginan, perintah atau pengarahan dari pimpinan
organisasi, sehingga para agent sering bertindak di luar keinginan pimpinan. Di
samping itu Pfeffer mengatakan adanya opportunistic behaviour oleh para anggota
organisasi, yang merupakan bentuk perilaku negatif dalam organisasi privat
maupun publik.
Hadirnya
gejala principal and agent theory, transaction cost, bounded rationality'dan
opportunistic behaviour merupakan bukti dari perilaku organisasi yang kurang
menguntungkan dalam pemberian pelayanan, dan hal itu dapat dihilangkan dengan
proses pembinaan perilaku organisasi.
Peningkatan
mutu pelayanan publik pada organisasi Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota.
Apabila
dikaitkan dengan aspek organisasi dalam pemberian pelayanan sebagaimana
dikemukakan oleh Lovelock (1994:179) Zeithaml-Parasuraman-Berry (1990:23) dan
De Vyre (2003), maka mutu pelayanan yang lebih baik dapat diwujudkan apabila
organisasi dan aparatur pemberi pelayanan mampu memberikan informasi,
konsultasi, keramahan, dan perhatian, dengan struktur organisasi yang ditata
dan diberdayakan (empowering) agar memberikan respon yang cepat dan diberikan
oleh pegawai yan memiliki kompetensi dan perilaku yang positif.
Mengenai
gerakan peningkatan mutu pelayanan publik, Milakovick (1995:11) mengemukakan
bahwa pada pertengahan tahun 1980-an, para ahli pemerintahan "sounded the
alarm by identifying the lack of a consistent model of frame work for managing
service as the reason most often citedfor customer dissatisfaction ".
Seiring
dengan berkembangnya prinsip reinventing government, dengan mengaplikasikan
semangat entrepreneurship ke dalam organisasi publik, maka prinsip customer
driven government yang menempatkan masyarakat sebagai pelanggan yang harus
dilayani dan dipuaskan, maka TQS sebagai suatu strategi dapat diaplikasikan
pada organisasi publik, dan proses pemberian pelayanan publik. TQS merupakan
suatu strategi yang bersifat komprehensif yang melibatkan semua aspek dalam
organisasi. Milakovich (1995:23) mengatakan bahwa: "TQS is not an end in
itself, but rather a carefully designed and executed strategy for improving
processes, and services through continnual improvements in quality,
reliability, sistem and performance ".
Gerakan
untuk memperbaiki kualitas pelayanan pada organisasi publik didasari oleh
pemikiran yang mendudukkan masyarakat sebagai pelanggan dan konsumen dari
public goods dan civil services, dan organisasi pemerintah adalah produser dan
provider semua jenis public goods dan layanan civil. Dalam konteks organisasi
bisnis, pelayanan yang diberikan kepada pelanggan menentukan kesetiaan
pelanggan membeli produk diantara beberapa produser yang menjadi kompetitor.
Sedangkan dalam organisasi publik mutu pelayanan organisasi publik menentukan
kepercayaan masyarakat terhadap janji yang diberikan pemerintah, sesuai dengan
hubungan janji dengan percaya (Ndraha,2003:105).
Milakovich
(1995:75) mengatakan bahwa terdapat tiga aspek yang menentukan dalam peningkatan
mum pelayanan, yakni : (1) physical surroundings, (2) sistem processes dan (3)
human resources. Apabila di implementasikan pada organisasi Pemerintah Daerah,
maka dapat dilakukan analog bahwa dalam lingkungan organisasi Pemerintah Daerah
otonomi Kabupaten, terdapat beberapa aspek yang sangat menentukan dalam
peningkatan mum pelayanan publik, sebagai berikut:
1.
Adanya perangkat-perangkat organisasi
Pemerintah Daerah dan unit-unit organisasinya dengan segala kelengkapan kantor
dan peralatan yang dibutuhkan, pada posisi dan keadaan yang mudah terjangkau,
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
2.
Adanya sistem dan proses pemberian
pelayanan yang dibangun menyertai dan inherent dalam struktur dan tatalaksana
organisasi Pemerintah Daerah.
3.
Adanya sumber daya manusia pegawai yang
terlatih dengan ketrampilan dan perilaku yang kondusif untuk memberikan
pelayanan publikyang bermutu.
Kaitan
antara Ketiga aspek yang dibutuhkan sebagai penentu mutu pelayanan publik tadi
pada dasarnya merupakan aspek-aspek utama yang terkandung dalam organisasi
Pemerintah Daerah. Aspek yang ke (1) dan (2) merupakan bagian dari penataan
organisasi. Itulah sebabnya maka penataan organisasi Pemerintah Daerah dengan
penataan sistem dan prosedur pelayanan, serta pembinaan perilaku pegawai
merupakan kebijakan yang harus dilakukan dalam peningkatan mutu pelayanan
publik pada daerah otonomi Kabupaten.
Formalisasi
dalam organisasi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Dessler (1986:193)
dilaksanakan dalam rangka pembinaan perilaku pegawai. Formalisasi menurut
Dessler (1986:193) berbentuk (1) Formalization by job, (2) Formalization by
work flow, (3) Formalization by rules, dan (4) Formalization by Struktur,
Prayudi (1996:108) mengemukakan pula bahwa formalisaasi dilakukan dengan
regulasi, dan prosedur, dan standarisasi. Formalisasi juga menyangkut
penyusunan uraian tugas pokok dan tugas jabatan dalam organisasi, dan pada
akhirnya dapat dikemukakan pula bahwa bentuk formalisasi dalam struktur
organisasi akan membentuk proses pemberian perilaku organisasi.
Pembinaan
Perilaku Organisasi dengan Mutu Pelayanan Publik
Kualitas
pelayanan berkaitan dengan terpenuhinya standar pelayanan dan harapan dan
keinginan masyrakat terhadap pelayanan yang mereka terima. Kualitas pelayanan
berkaitan pula dengan kepuasan peianggan (masyarakat dalam hal pelayanan
publik) terhadap pelayanan yang diberikan. Lukman (1999 :26) menyatakan bahwa
mutu produk yang dihasilkan baru dapat dikatakan berkualitas apabila sesuai
dengan keinginan pelanggan, dapat dimanfaatkan dengan baik, dan diproduksi
(dihasilkan) dengan cara yang baik dan benar, sesuai dengan standar yang
ditetapkan.
Menurut
Lukman (1999:26) bahwa dalam arti kualitas pelayanan, sudah tercakup
{performance, reliability), mudah dalam penggunaan (easy to use), estetika (
esthetics) dan sebagainya.
Lukman
(1999:27) menyatakan bahwa secara garis besar, kualitas pelayanan dapat dikaji
dari dua aspek, (1) human factor dan (2) non human factor. Hal itu scnada
dengan apa yang dikemukakan oleh Milakovich (1995:75) bahwa peningkatan pelayanan
publik dapat dicapai apabila tertatanya (I) physical surroundings, (2) sistem
processes dan (3) human resources.
Human
factor dalam pelayanan publik merupakan aspek utama yang harus ditangani.
Sistem processes adalah berkaitan dengan kesiapan aspek sumber daya manusia
untuk menjalankan sistem dan proses, pemberian pelayanan dalam pelaksanaannya
dilakukan oleh sumber daya manusia, pegawai dalam organisasi yang memiliki
perilaku yang berbeda-beda. Manusia dengan perilakunya, cenderung mencari
keuntungan sendiri (opportunitie behaviour), dengan keterbatasan nalar dan
pengertian (bounded rationality) serta gejala agent and principle (Pfeffer:
1982) dan Garton (1996).
Berbagai
gejala perilaku yang negatif atau perilaku yang tidak sama atau bahkan
berlawanan dengan tujuan organisasi dalam pemberian pelayanan publik, harus
ditangani melalui pembinaan perilaku organisasi, agar perilaku organisasi yang
terbentuk adalah perilaku yang positif, dalam arti perilaku yang mendukung
terwujudnya pelayanan publik yang bermutu.
Keberhasilan
proses pembinaan prilaku organisasi akan memperkujat budaya organisasi yang
pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan publik pada
Pemerintah
Daerah Kabupaten maupun Kota. Bentuk pelayanan publik pada Pemerintah Daerah
lebih banyak bersentuhan dengan perilaku pegawai yang merupakan faktor penentu
perilaku organisasi. Oleh sebab itu, terwujudnya perilaku organisasi yang
positif akan menentukan baik atau buruknya mutu pelayanan publik pada
organisasi Pemerintah Daerah.
Strategi
Pembinaan Perilaku Organisasi Pemerintah Daerah
Secara
konkrit, pembinaan perilaku organisasi pemerintah daerah dilakukan dengan
beberapa kegiatan nyata sebagai berikut :
1.
Memperjelas uraian tugas dalam struktur
organisasi atau defining trask, sehingga semua pemangku jabatan tugas mengerti
dan mengetahui tugas pokoknya, tugas pokok orang lain, arah koordinasi dan
integrasi dalam struktur dengan jelas.
2.
Mengembangkan norma-norma organisasi
yang hidup dan dipedomani dalam organisasi ditaati dan eksis dalam intruksi
internal organisasi.
3.
Membudayakan nilai-nilai dan norma
tersebut, dengan menebarkan prinsip reward and punishment yang seimbang.
4.
Menciptakan iklim kerja yang memberikan
harapan positif dan kondusif yang berfungsi sebagai aspek motivasi yang kuat.
5.
Membangun pola sistem payment yang
berbasis kinerja secara adil dan proporsional sehingga tercipta rasa keadilan
yang berdasarkan bobot tugas birokrasi.
6.
Membangun pola karir yang transparan,
fair dan adil yang akan memberi harapan bagi seluruh aparat birokrasi Pemda
untuk meningkatkan proporsionalisme dalam pengembangan karirnya.
Penutup
Pembinaan
perilaku organisasi merupakan strategi yang harus ditempuh bersamaan dengan
penataan organisasi dan ketatalaksanaan birokrasi pemerintah daerah, secara
simultan dan berkesinambungan sehingga terwujud birokrasi pemerintah daerah
yang profesional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pengalaman
selama ini dimana penataan kelembagaan yang dilakukan secara berulang-ulang
tanpa diimbangi atau disertai dengan pembinaan perilaku organisasi telah
menyebabkan mandegnya proses peningkatan pelayanan publik pada pemerintah
daerah.
Mutu
pelayanan publik pada organisasi pemerintah daerah banyak ditentukan oleh aspek
manusiawi dari birokrasi dalam hal perilaku aparat birokrasi tatkala memberikan
pelayanan kepada masyarakat sehingga upaya pembinaan perilaku organisasi
menjadi suatu hal yang strategis bagi pemerintah daerah.